Rabu, 23 Juni 2010














Sejumlah pengrajin mengerjakan tenunan kain songket khas Batubara dengan alat tenun tradisional di desa Kampung Panjang Kabupaten Batubara, Sumut, Senin (1/3). Kain songket asli Batubara yang dijual seharga Rp300 ribu hingga Rp4 juta tergantung motif dan jenis, dipasarkan hingga ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. (*septianda perdana/ant/bo)
















Share on Facebook

Bupati Batubara Lepas 49 Pelajar Ke Popdasu

Posted in Olah Raga by Redaksi on Juni 22nd, 2010

Batubara (SIB)
Bupati Batubara OK Arya Zulkarnain SH MM melepas 49 pelajar di halaman Kantor Bupati Jalan Perintis Kemerdekaan Limapuluh Senin (21/6). Mereka yang dilepas merupakan duta Batubara pada Pekan Olahraga Pelajar Daerah Sumatera Utara (Popdasu) di Tanjung Balai 23-27 Juni 2010.
OK Arya mengharapkan para pelajar tetap bersemangat dalam even tingkat Sumut tersebut. Tampil maksimal untuk mengharumkan nama daerah yang baru mekar dari Asahan itu.
Kalau tahun sebelumnya, Batubara berada di urutan 15 dari 33 kabupaten – kota di Sumut. Pada tahun ini hendaknya meningkat. Paling tidak uurutan 14 atau lebih baik lagi sepuluh besar.
Kepada para official, Bupati OK Arya mengharapkan tetap memperhatikan atlit binaannya dan memberinya motivasi pada setiap penampilan.
Cabang olahraga yang diikuti pelajar Batubara dalam Popdasu tersebut, pencak silat (10), Atletik (15), Takraw (12), Renang dan Tenis Meja masing-masing enam atlit.
Hadir pada pelepasan itu, Kepala Dinas (Kadis) Perndidikan Drs TM Syafi’i, Kadispora, pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), para kepala bagian, pengurus KONI dan undangan lainnya. (LY/s)

Bayi Raksasa 8,7 Kg Lahir di Sumut, Rekor Baru di Indonesia

Khairul Ikhwan - detikHealth


img
Bayi raksasa dan bayi normal (AFP)
Medan, Seorang bayi laki-laki lahir dengan bobot 8,7 Kg di Sumatera Utara. Dokter setempat mengklaim, kelahiran ini menjadi rekor baru di Indonesia.

Sebelumnya, berdasarkan data MURI, rekor bayi terberat di Indonesia adalah 6,9 Kg yang terlahir pada tahun 2007.

Hingga kini, bayi tersebut belum diberi nama. Saat dilahirkan, panjangnya mencapai 62 Cm. Proses kelahiran dilakukan dengan operasi cesar.

"Bayi yang berat ini membuat proses operasi berlangsung sangat berat, apalagi saat berusaha mengeluarkannya. Kakinya sangat besar," kata dr Binsar Sitanggang, salah seorang dokter yang menanganinya, seperti dikutip AFP, Kamis (24/9/2009).

Bayi laki-laki tersebut dalam kini dalam kondisi sehat dan terus diberikan oksigen untuk mengantisipasi munculnya masalah pernafasan.

"Anak itu memiliki nafsu makan yang besar, hampir setiap menit ingin makan. Tangisnya juga sangat kencang, tidak seperti bayi biasanya," tambahnya

Saat ini kondisi kesehatan bayi raksasa asal Kabupaten Batubara, Sumatera Utara (Sumut) makin membaik. Kini sang bayi mendapat perawatan di ruang rawat anak kamar nomor 46 di Rumah Sakit Umum (RSU) Abdul Manan Simatupang, Kisaran, Asahan.

Dokter Kabupaten (Dokabu) Asahan, Erwanto mengatakan, kondisi sang bayi terus mengalami perkembangan positif dan semakin membaik sejak mendapat perawatan 2 hari lalu.

"Setelah lahir, bayi tidak membutuhkan infus atau bantuan oksigen. Kondisinya sehat dan jantungnya normal," kata Erwanto.

Anak keempat dari pasangan Hasanuddin (50) dan Ani (41) yang merupakan warga Kabupaten Batubara ini, lahir melalui operasi caesar sekitar pukul 10.00 WIB, Senin (21/9/2009) di RSU Abdul Manan Simatupang.

"Tim dokter terpaksa melakukan bedah caesar karena besar tubuh bayi di luar kelaziman," kata Erwanto.

Erwanto juga mengatakan, kondisi kesehatan Ani, sang ibu, juga makin membaik pascapersalinan. Usai melahirkan, berat sang ibu tercatat 110 kilogram.

"Belum pernah menangani bayi lahir seberat ini. Kemungkinan karena berat ibunya setimpal dengan berat bayinya hingga tidak bermasalah saat dalam kandungan," kata Erwanto.














ISTANA LIMA LARAS
Mari bicara sisi lain sebuah istana raja. Tentang kisah kerajaan Melayu yang tak pernah tertulis di buku sejarah sekolah. Tentang sebuah kemegahan masa lalu, yang bahkan tak terdengar selalu.

Istana Lima Laras adalah sejarah yang terlupakan. Namanya kalah tenar ketimbang Istana Maimun di Medan. Walau tidak kokoh benar, Istana Lima Laras masih berdiri di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan. Sekitar 136 kilometer sebelah tenggara kota Medan.

Sepintas dari depan terlihat warna hijau bangunan istana sudah kusam. Istana berlantai empat yang dibangun tahun 1912 itu sudah lapuk dimakan zaman dan tak menarik lagi dikunjungi. Mungkin karena kondisinya itu Juga maka dalam brosur pariwisata Sumatera Utara, istana Lima Laras tidak tercantum lagi sebagai salah satu objek wisata.

Istana yang berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter ini dibangun Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII, putra tertua raja sebelumnya, Datuk H Djafar gelar Raja Sri Indra. Semula istana ini bernama istana Niat, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana untuk kerajaan itu.
Sebelumnya pusat pemerintahan kerajaan Lima Laras yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan sudah ada sejak abad XVI, sering berpindah‑pindah karena belum punya istana permanen.

Niat Datuk Matyoeda itu sendiri bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar. Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia.

Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.

Sebab itulah Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana.

Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak tahun 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana. Baru pada masa Agresi Militer II, istana kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.

Empat Anjungan

Istana yang menghadap selatan itu memiliki empat anjungan di ke empat arah mata angin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Ham­pir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi‑kisinya. Tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.

Lantai pertama yang terbuat dari beton, dilengkapi balai rung atau tempat bermusyawarah. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar‑kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Total, istana ini memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela. Untuk naik ke tingkat dua dan tiga, selain tangga biasa di bagian luar, ada tangga berputar dengan 27 anak tangga dari bagian dalam.

Jika berkunjung ke istana itu sekarang ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga sudah hilang dan bagian tengah telah putus karena lapuk. Jangan berharap juga bisa melihat bekas singgasana atau peralatan tanda kemegahan kerajaan itu pada masa lampau, sebab sebagian besar perlengkapan istana sudah hancur atau raib.

Datuk Muhammad Azminsyah (62), salah seorang cucu Datuk Matyoeda, beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan istana, seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah‑belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana.

Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat. Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding‑dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa.

Menurut Maddin (70) yang sehari‑hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. “Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari‑hari libur seperti lebaran ini, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp 500 per orang.” kata Maddin yang menyatakan bisa mengumpulkan Rp 30 ribu pada lebaran kedua.

Harapan pemasukan memang hanya dari kutipan pengunjung. Celakanya. pengunjung yang hanya datang pada saat lebaran saja, itu pun didominasi anak‑anak sekitar kampung. Selain masalah renovasi, jalan masuk ke lokasi juga rusak dan kumuhnya perkampungan bukan pemandangan yang layak untuk dijual ke turis domestik, apalagi asing.

Renovasi terakhir yang dilakukan pemerintah hanya tahun 1980/1981 dengan biaya Rp 234 juta, saat masih dikelola Kanwil Depdikbud Sumut. Setelah diserahkan kepada Pemda Asahan sejak 14 September 1990, praktis tidak ada perbaikan apapun lagi. Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya.

Istana Lima Laras tak lagi dihuni. Malam hari, tak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih. Karena kondisinya itu, makanya pernah muncul di surat kabar berita yang memprihatinkan, istana Lima Laras menjadi tempat bermain judi. Tragis!